Kamis, 19 Oktober 2017

Kabut di Ranu Kumbolo


Sabtu jam 5 pagi aku mulai sibuk menyiapkan perjalanan yang tidak terlalu jauh yaitu ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tepatnya di Ranu Kumbolo. Pagi itu cuaca cukup bagus tidak ada tanda-tanda akan hujan dan sepertinya menjadi hari yang baik untuk melakukan aktivitas luar ruangan. Perjalanan dimulai dari Asrama ke daerah Sawojajar.
Di sawo jajar siswa-siswa itu sudah berkumpul namun masih ada beberapa yang belum sampai. Canda tawa mereka dalam menyiapkan berbagai perlengkapan terdengar begitu renyah. Canda tawa mereka ini juga yang selalu menemani sepanjang perjalanan. Masih ter ingat candaan salah satu dari mereka yang enyinggung kalau tas temanya tidak muat karena membawa kosmetik.
Selesai mengatur barrang bawaan kami langsung berangkat menuju Ranu Pane. Yang paling lucu adalah selama perjalana mereka berkali-kali berhenti dengan alasan yang tidak jelas. Sampai akhirnya benar-benar berhenti karena beberapa motor tidak kuat nanjak. Dan terpaksa beberapa motor bolak-balik membantu membawa barang atau orang.
Di Ranu Pane kami langsung menuju ke tempat briefing. Briefing sebelum mulai pendakian adalah kewajiban jadi harus sabar menunggu giliran. Saat menunggu giliran siswa ini merasa ada beberapa berkas yang belum ada dan mereka masih berusaha untuk melengkapinga.
Di bulan ini mulai diberlakukan sistem booking online untuk pendakian ke Semeru. Sistem ini masih cukup ribet menurutku karena ada beberapa prosedur yang menurutku kurang jelas sehingga terpaksa bolak-balik untuk melengkapi administrasi.
Setelah menyelesaikan briefing dan segala persyaratan administrasi kami memulai pendakian. Tidak ada tantangan yang berarti selama pendakian. Jalan yang begitu jelas dan tanjakan yang sama sekali tidak ekstrem membuat perjalanan ini terasa sangat membosankan. Bahkan keramaian yang kalau dipikir lebih rama daripada jalan depan rumah orang-orang. Dan hanya beberapa rombongan saja yang cukup akrab mengajak bercanda.
Di Pos 3 hujan mulai turun dan perjalanan terasa sedikit lebih sulit karena jalan menjadi licin. Sampai di Pos 4 kami berhenti dan disini mulai terlihat Ranu Kumbolo walau sebagian besar masih tertutup kabut. Lama-kelamaan kabut menghilang dan hujan pun reda. Sempat terpikir untuk membuat mie instan untuk menghangatkan badan namun karena sudah cukup cerah akhirnya lanjut ke camping ground. Siswa-siswa memilih jalur di tepian danau padahal dari pengamatanku air danau cukup tinggi dan orang-orang memilih jalur atas. Aku hanya bilang kalau jalur atas sepertinya lebih mudah tetapi mereka lebih berminat lewat bawah. Akhirnya karena merasa kesulitan mereka memilih jalur atas.
Suasana berkabut kembali menyelimuti pinggiran Ranu Kumbolo. Sayangnya suasana disana begitu ramai lebih mirip seperti pasar malam. Setelah menemukan tempat yang dirasa cukup layak untuk mendirikan tenda kami mendirikan tenda dan membereskan semua perlengkapan-perlengkapan yang kami gunakan.
Setelah langit cukup gelap gelap aku bergegas menuju tanjakan cinta dengan maksud mengambil foto suasana Ranu Kumbolo saat malam hari. Kabut tidak setebal saat sore hari dan cukup layak untuk mengambil foto suasan camping ground saat malam hari. Ku cari beberapa lokasi yang cukup asik untuk mengambil gambar. Langit yang berawan dan bulan yang cukup terang membuat langit sebagai background tidak begitu indah. Dan kalau dipikir piker kalau disitu ada biang lala sudah benar-benar seperti pasar malam, apalagi kalau ditambah penjual martabak sama gula kapas.

Suara hewan-hewan mulai terdengar tidak terasa sudah pagi. Aku begitu penasaran dengan sunrise di Ranu Kumbolo namun rasa penasaran itu harus ditahan karena kabut begitu tebal. Aku mulai berjalan menaiki tanjakan yang begitu fenomenal itu bukan karena pingin jodoh tetapi dari atas kelihatan kalau di situ begitu terang karena terkena pancaran cahaya matahari. Mungkin dari atas itu bisa melihat suasana ranu kumbolo yang ditutup kabut namun bagian atas cerah. Tebakanku tepat diatas memang cerah dan di bawah Ranu Kombolo seakan-akan berada dibawah awan. Aku hanya duduk sambil memegang kamera menikmati suasana pagi dan hangatnya mentari.

Tak terasa sudah satu jam lebih berada di situ dan sepertinya haru menengok ke Oro-oro Ombo yang ternyata saat itu kering dan berwarna hitam. Akhirnya aku urung untuk turun ke sana dan meilih kembali ke Ranu Kombolo. Ternyata di Ranu Kombolo kabut itu sudah menghilang dan suasana berkabut menjadi begitu cerah. Sayang sekai karena dengan kondisi seperti itu pasti sulit untuk mengabadikan gambar.

Menurutku Ranu Kumbolo adalah sebuah danau biasa yang tidak begitu menarik. Mungkin orang-orang tertarik ke situ karena sebuah film yang begitu popular beberapa tahun lalu. Suasana disitu juga tidak terlalu unik camp ground dengan tepian danau biasa, jumlah hewan-hewan liar juga tidak teralu banyak. Bagi yang menyukai tantangan sepertinya lebih cocok kalau ke sana sambil lari atau paling tidak kebut-kebutan sampai ke kalimati dan menuju puncaknya. Dan kalau orang yang mencari ketenangan tempat ini sama sekali tidak direkomendasikan. Lebih baik cari gunung yang lain, seperti Gunung Argopuro yang menawarkan keindahan danau yang tidak kalah dari Ranu Kombolo bahkan di sana jauh lebih tenang dan alami.


Selasa, 10 Januari 2017

Tinju Adat Sagi di Soa


Tinju adat atau sagi adalah salah satu warisan kebudayaan di tanah flores. Tidak semua adat di flores mengenal sagi hanya beberapa wilayah yang mengenal sagi diantaranya adalah di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo. Di Kabupaten Ngada hanya ada beberapa tempat dengan tradisi Sagi, sebagian besar di Kecamatan Soa namun juga ada satu perkampungan di Riung yang mempunyai tradisi tinju adat yakni di Bekek.
Sagi di setiap tempat mempunyai beberapa perbedaan. Perbedaan yang paling mencolok adalah cara memukul dan alat pukul yang digunakan. Sedangkan aturan lainnya tidak terlalu berbeda jauh. Secara umum permainan ini dibagi menjadi dua kubu barat dan timur setiap petinju (ata sagi) merupakan perwakilan dari salah satu kubu dan harus didampingi oleh sike.
24 Oktober 2015, waktu pertama kali menonton tinju adat di Kabupaten Nagekeo, tidak jauh dari SMK Negeri Riung, tepatnya di Desa Nggolonio, Kecamatan Aesesa. Lokasinya berada di sebuah lapangan yang cukup luas dengan tribun berupa susunan batu namun jangan berpikir bakal semegah coliseum di Roma. Walapun punya akses khusus (salah satu panitia adalah Bapak Yere yang kebetulan juga guru di SMK Negeri Riung) namun karena lokasi terlalu luas menyulitkan untuk menonton sehingga tidak terlalu seru. Sambil ngobrol ada yang bilang kalau tinju di Soa jauh lebih menarik bahkan sampai berdarah-darah. Inilah pertama kali tertarik untuk melihat tinju di soa.
2 Juni 2016, diundang oleh Hasan (guru SM-3T) untuk datang ke acara tinju adat di Desa Masu, Soa. Kebetulan waktu itu juga ada monitoring dari UNY jadi sekalian dari Riung naik bus Gemini turun di Masu. Dari pertigaan berjalan kaki menuju tempat Hasan dan disepanjang jalan mulai terlihat hiruk pikuk warga berlalu-lalang kebanyakan membawa jerigen berisi minuman moke. Sambil menunggu Sagi dimulai istirahat dulu di tempat Hasan.
Setelah agak sore menuju ke lapangan tempat sagi berlangsung. Suasana begitu ramai namun sedikit berbeda dengan lapangan di Desa Nggolonio, lapangan di Desa Masu tidak terlalu luas sehingga benar-benar penuh sesak oleh penonton. Saat sampai lokasi begitu sulit untuk mencari posisi menonton apalagi untuk mengabadikan pertarungan. Dengan menyusup-nyusup akhirnya memperoleh tempat yang cukup longgar untuk menonton.
Permanan begitu seru, apalagi setiap kali ada yang meukul penonton bersorak histeris dan kadang juga ada pemain yang berdarah. Semakin sore pertandingan semakin seru karena yang bertanding adalah pemain yang lebih senior. Sayang pertandingan terpaksa haru dihentikan karena salah satu pemain terlepas dari sike hingga terjatuh. Dalam tradisi mereka setiap ada kejadian tersebut pertandingan harus diakhiri dan malamnya harus diadakan upacara.

Pertandingan Sagi di Soa memang lebih menarik daripada di Desa Nggolonio selain adu fisik jauh lebih keras juga antusias warga yang lebih besar.

Rabu, 04 Januari 2017

Rawuk dan Sunset yang mempesona


Rawuk adalah sebuah tempat yang sangat terpencil di Kabupaten Ngada, Walaupun tidak se sulit Desa Malafai akses menuju tempat ini tidaklah gampang. Jalur akses dari Riung ditempuh dengan dua cara yaitu dengan jalan kaki selama sekitar satu jam dan menggunakan kendaraan dengan waktu yang sama 1  jam. Waktu tempuh ini desebabkan karena harus memutar lewat jalan Riung-Bajawa. Secara Administrasi Rawuk berada di Desa Taen Terong 1, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, NTT dengan penduduk sekitar 50 KK.
Rawuk merupakan salah satu perkampungan yang unik. Di perkampungan ini mayoritas adalah muslim padahal letaknya jauh di pegunungan. Inilah yang membuatnya begitu unik karena biasanya perkampungan muslim berada di pesisir dan rawuk berada jauh dari laut, walaupun begitu dari tempat ini kita juga bisa melihat indahnya Taman Wisata Alam Laut 17 Pulau Riung. Singkat cerita kampung ini adalah bagian dari Kerajaan Islam Riung. Hanya informasi itu yang diperoleh karena keterbatasan waktu dan akses yang sulit membuatku kesulitan menggali informasi lebih lanjut. Sedikit kecewa memang.
Di tempat ini ada 2 masjid salah satunya cukup megah untuk ukuran daerah yang sedikit terisolir. Waktu bulan Ramadhan 1437H kemarin sempat  berkunjung ke tempat ini mengikuti safari Ramadhan dan semapt sholat jamaah di tempat itu. Sambutan warga begitu ramah bahkan sempat memberikan suguhan yang cukup nikmat.
Pada kesempatan yang lain entah kenapa Bus Gemini tiba tiba belok kiri melewati jalanan rabat beton menuju ke arah Rawuk. Dalam hati “gila nih Om Halim (sopir bus) berani masuk pake kendaraan segede ini padahal kalau pakai motor aja mikir dulu” memang sih Om Halim itu sopir yang luar biasa mungkin kalau ikut Reli Dakar bisa menang. Setelah beberapa saat cahaya merah keemasan menyelip diantara pepohonan. Hingga kemudian benar-benar terlihat matahari yang bulat kemerahan langsung buru-buru ambil kamera dalam tas namun tidak sempat terfoto, kamera it uterus kupegang menanti kesempatan emas namun tidak pernah mendapatkan kesempatan. Hanya beberapa silhouette pepohonan bahkan di dekat MIS Rawuk pun tidak terambil gambarnya. Jalanan yang begitu sulit membuat bus bergoncang-gonjang terus.

Memang ada cerita kalau sunset di tempat itu begitu indah dengan warna merah yang unik bahkan kadang matahari berubah menjadi bulatan merah yang begitu indah. Mungkin hal ini disebabkan oleh kabut tipis dari padang rumput di Riung Barat yang memfilter cahaya matahari menjadi berwarna merah menyala. Walapun tidak bisa mengabadikannya sudah puas bisa melihatnya dengan mata sendiri. Walapun begitu juga sempat mengabadikan sunset tidak jauh dari Rawuk yang begitu indah.

iklan

loading...

Memasak Beras Menjadi Nasi atau Lontong di Alam Bebas

foto: nationalgeographic.co.id Sumber energi selalu kita butuhkan, apalagi saat kita berpetualang di alam bebas. Kebanyakan dari kita se...

Popular Posts