Kamis, 29 Desember 2016

Lampatabi, Luasnya padang rumput di Riung Barat.


Nusa Tenggara Timur kalau mendengar nama provinsi ini pasti salah satu yang terlintas dipikiran kalian adalah sebuah tempat yang tandus namun tahukah kalian kalau ada sebuah padang rumput nan hijau dan luas? Kalau kalian sering buka intagram pasti sering melihat padang rumput di Sumba yang memang cukup terkenal yakni bukit wairinding. Namun ada sebuah padang rumput yang jauh lebih luas dan begitu hijau di pulau yang lain yakni di Pulau Flores.
Tempat ini terletak di kecamatan riung barat yang berjarak sekitar 2,5 jam perjalanan dari kota bajawa. Lokasinya jauh dari jalan Bajawa-Riung masih masuk lagi sekitar satu jam dari daerah wangka ke arah maronggela. Ada dua jalur untuk menuju tempat ini yaitu dari Bajawa dan dari Riung. Kalau dari Ende bisa langsung, ada bus damri jurusan Ende-Riung-Maronggela yang tidak setiap hari berangkat. Jadi paling mudah lewat Bajawa. Kalau dari bajawa bisa dengan oto bus, oto travel atau sewa motor lebih banyak pilihannya daripada kalau dari Riung.
Waktu itu akhir Desember tahun 2015 setelah pulang dari Labuan bajo menyempatkan diri untuk mampir ke padang rumput yang katanya sudah mulai hijau setelah beberapa bulan lalu terbakar. Kemarau panjang tahun 2015 berdampak parah disekitar Riung dan Riung Barat hampir semua padang rumput terbakar. Namun hujan di bulan November memberikan harapan dan rumput-rumput mulai tumbuh.
Jalan dari Wangka ke Maronggela sangat sepi hanya ada beberapa orang yang lewat dan menyapa. Tunas-tunas baru yang baru tumbuh memberikan kesejukan yang unik. Anak kerbau yang masih berbulu panjang berlari-lari tidak jauh dari induknya, suara khas babi pun juga terdengar. Awalnya sekitar jalan berupa kebun dan hutan namun setelah melewati Kuwuk vegetasi berubah pepohonan mulai jarang dan hamparan semak belukar mulai terlihat. Oh iya di Kuwuk ada sebuah bukit yang di puncaknya terdapat Salib yang cukup besar, orang sering menyebutnya dengan bukit salib.
2 kilometer dari kuwuk suasana terasa berbeda, seakan kau dibawa ke pulau lain. Suasana daerah ini sama sekali tidak mencerminkan pulau flores, sepanjang mata memandang hanyalah rerumputan. Sapi-sapi berwarna cokelat dan kerbau begitu asik merumput, ada pula kuda yang berlarian. Masihkah aku di tanah Flores? Pertanyaan itu sempat terlintas di kepala. Kemudian ada pengendara motor yang lewat sambil menyapa dengan plat EB membuatku yakin ini masih di Flores.
Sampai di pertigaan ke arah Maronggela dan ke arah Munting ku ambil jalan jelek yang ke arah munting dengan maksud mencari bukit yang agak tinggi untuk melihat pemandangan yang lebih luas. Ada bukit yang tidak terlalu tinggi dan tak jauh dari pertigaan, di dekat rumah bapak Anton. Walaupun tidak begitu tinggi pemandangan dari bukit ini begitu mempesona, hamparan padang rumput seluas ribuan hektar begitu enak dipandang. Waktu itu sepertinya saat terbaik untuk menikmati luasnya padang rumput yang begitu hijau. Rumput sudah sangat hijau namun belum terlalu tinggi sehingga masih mudah untuk menjelajah mencari sudut foto terbaik.
Semoga lain kali bisa kesini di saat yang tepat, sekedar memandangi rumput atau menunggu matahari terbit.

Selasa, 20 September 2016

Kampung Adat Tatubhada

Tidak jauh dari Mbay, Nagekeo tepatnya di Desa Rendu, Aesesa Selatan terdapat beberapa kampung adat di pinggiran ngarai Sungai Aesesa. Salah satu yang paling besar dan mudah di jangkau adalah Kampung Adat Tatubhada. Kampung ini sangat dekat dengan jalan, tepatnya di pinggiran jalan tembusan Mbay - Boawae. Jalan ke tempat ini relatif mudah apa lagi lokasinya yang di pinggir jalan. Jika melihat gereja yang cukup besar kampung ini ada di belakangnya.

Kampung ini memang tidak begitu terkenal, jauh jika dibandingkan dengan Kampung Adat Bena apalagi dengan Kampung Adat Waerebo. Kampung ini juga tidak terlalu photogenic, sangat sulit mengambil sudut foto yang bagus. Mungkin itu juga yang membuatnya jarang diminati para pelancong.
Kesan pertama ketika memasuki tempat ini adalah sepi, waktu itu memang masih siang saat penduduknya kebanyakan masih di kebun. Penduduknya juga kurang Welcome, terlihat masih malu dan tidak terbiasa berinteraksi dengan orang asing. Dan yang paling bikin malas adalah saat bertanya dengan nada yang tinggi saat mau mengambil foto.
Rumah yang di bangun bentuknya sangat beragam sama sekali tidak seragam. Letak dasar rumah yang lebih rendah dari lapangan membuatnya tidak terlalu indah apa lagi penataanya yang terkesan kurang rapi.
Saran kalau ke sini sebaiknya pagi-pagi sekalian biar tidak terlalu panas.

Senin, 05 September 2016

Waerebo desa adat photogenic

Waerebo, sebuah desa adat di pedalaman Manggarai. Desa adat ini begitu terkenal bagi pelancong. Tidak jarang pelancong dari mancanegara rela bersusah payah menuju desa adat ini.

Waerebo tidak jauh dari Ruteng Ibu kota Kab. Manggarai. Dengan kendaraan 1 jam sudah bisa mencapai Desa Denge, desa terakhir sebelum tracking ke Waerebo. Walaupun dengan rute khas Flores jalan berkelok-kelok dan naik turun.

Waktu itu stamina terkuras habis karena nekat menggunakan oto kayu dengan berdesak-desakan. Badan pun sakit semua karena medan yang tidak mudah. Walaupun  demikian bisa dengan selamat sampai Denge.

Selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Rute terberat yaitu jalanan aspal menanjak dengan suhu lebih dari 40 derajat Celsius. Kali ini stamina benar-bebar diperas habis-habisan.

Jalan selanjutnya relatif lebih mudah. Terus menanjak namun tidaklah terlalu sulit. Suasana hutan yang begitu asri menemani perjalanan menuju desa waerebo.

Bersambung. . .

Jumat, 22 Juli 2016

Di Bawah Garis 11 Derajad Lintang Selatan

Monumen Jenderal Sudirman

Berawal dari ajak seorang teman untuk berkunjung ke daerah paling selatan di Indonesia. Setelah hampir seminggu meninggalkan Riung untuk berkunjung ke Ende langsung lanjut ke titik paling selatan. Sempat bingung untuk memulai dari Ende atau balik lewat Aimere. Karena persiapan yang belum akhirnya memilih lewat Aimere.
Belum terbayang lama perjalanan sekitar 20 jam dalam kapal dan masih dibingungkan soal tiket dan waktu keberangkatan. Pagi itu begitu ramai di Pelabuhan Aimere banyak kendaraan dan pedagang yang memenuhi setiap sudut dermaga. Loket tiket juga penuh sesak dengan antrian orang. Dapatlah dua tiket kelas ekonomi menuju Kupang. Sedikit lega akhinya mendapatkan tiket, tinggal menunggu seorang teman yang jalan kaki dari kos menuju pelabuhan.
Pintu gerbang mulai dibuka, anggota TNI dan Polisi ikut berjaga membantu petugas pelabuhan. Dengan sedikit berdesakan kami memasuki kapal yang ternyata sudah penuh sesak. Tidak hanya manusia dan kendaraan namun juga hewan ternak seperti kambing, babi dan ayam. Sempat mendapat tempat di dek bawah namun tidak terlalu nyaman bau tahi babi dan ayam di sebelah kiri sangat mengganggu. Tidak puas kami masih berusaha mencari tempat di de katas dan ternyata sama saja. Akhirnya kami memilih untuk mengambil tempat di antara dua mobil Menkominfo, sempit memang tetapi jauh dari suara dan aroma hewan ternak.
Karena baru pertama kali menaiki kapal penyeberangan aku begitu penasaran. Menjoba melihat-lihat hingga ke dek atas, di Mushala kami bertemu dengan Guru SM-3T yang bertugas di Sumba Timur. Mereka ingin mengunjungi perbatasan Timor Leste. Mereka yang telah menempuh perjalanan dari Waingapu sampai Aimere sudah mengenal ABK Kapal Inerie II, kita juga diajak mereka ke ruang kemudi kapal dan oleh Nahkoda kapal kami di Ijinkan menuju ke Dek paling atas.
Setelah berusaha istirahat dan berganti-ganti posisi selama hampir 18 jam tiba-tiba terdengar nada suara dari handphone, ternyata kita sudah dekat dengan daratan da nada sinyal selular. Dari jendela terlihat cahaya dan samar-samar mulai terlihat bangunan dan alat berat di Pelabuhan Bolok Kupang. Sampai di Pelabuhan kita mampir dulu di Kupang untuk sahur dan mandi. Angkot dan ojek di sekitar pelabuhan ternyata mahal dan suka minta uang tambahan.
Pagi harinya langsung menuju ke Pelabuhan Tenau untuk mengejar kapal cepat ke Baa (Rote Ndao). Ternyata karena hari Minggu Pelabuhan buka lebih siang, terpaksalah nunggu agak lama di pintu gerbang. Dengan kapal cepat sekitar jam 11 sudah sampai di Baa. Masih tidak percaya bisa sampai di Kabupaten paling selatan di Indonesia.
Gerbang Pelabuhan Baa

Sampai Baa kami mencari kendaraan untuk menuju Ombok namun karena hari Minggu tidak ada bemo yang jalan. Mencari masjid dulu siapa tahu ada yang bisa membantu. Dapat pesan kalau tenyata ada juga anak SM-3T yang sedang di Baa dan tanpa sengaja ketemu di Masjid. Sempat mengobrol sebentar dan ternyata tujuan mereka berbeda.
Desa Oeseli
Setelah mengobrol dengan beberapa orang mereka menyarankan kami untuk menuju ke Desa Oeseli. Di Desa tersebut terdapat sebuah Masjid dan Pos Tentara. Dari desa tersebut kita bisa menuju ke Pulau Dana. Bermodalkan motor pinjaman dan google maps kita langsung menuju Oeseli. Setelah perjalanan sekitar satu jam kita sampai di ujung jalan dan tidak menemukan Masjid ataupun Pos Tentara. Bingung sambil menikmati indahnya Pantai Oeseli.
Pantai Oeseli

Setelah bertanya dengan seorang ibu ternyata masjid lokasinya di tempat tersebut hanya sedikit ke dalam dan tidak terlihat dari jalan. Menyempatkan Shalat Ashar dan beristirahat sambil berharap ada sedikit pencerahan. Memang malu bertanya sesat di jalan, setelah bertanya dengan beberapa warga kami mendapatkan cara untuk ke Pulau Dana dengan bantuan seorang nelayan. Kami juga singgah ke Pos Tentara untuk lapor dan ternyata sambutan bapak-bapak tentara ini begitu baik. Karena beberapa alasan dan juga saran dari pak tentara kami menginap di situ semalam baru ke Pulau Dana paginya.
Masjid Nurul Bahar, Oeseli

Desa Oeseli merupakan perkampungan muslim dengan jumlah warga muslim sekitar 25 kepala keluarga. Menurut penuturan Pak Imam warga muslim di sini merupakan pendatang dari Kerajaan Gowa Talo di Sulawesi. Mereka datang menggunakan kapal pinisi. Konon waktu itu sedang terjadi kekacauan dan perampokan di Gowa Talo hingga beberapa dari mereka melarikan diri dengan kapal pinisi. Desa Oeseli merupakan daerah yang menghasilkan kopra dan hasil laut berupa ikan dan rumput laut. Pantai di desa ini juga begitu indah, pantai pasir putih dengan hisan batu-batu karang. Yang paling berkesan dari tempat ini adalah keramahan penduduk dan ketenangannya. Cukup betah disini jika ada banyak waktu pasti menetap lebih lama.
Keramahan tentara penjaga pulau terluar

Pulau Dana
Pagi itu angin begitu kencang cukup ragu untuk menyeberang. Setelah agak siang dengan kapal nelayan kami menyeberang ke Pulau Dana. Perairan yang langsung terhubung ke laut lepas membuat ombak begitu besar. Menerjang ombak sambil asik memotret burung camar. Entah kenapa waktu berangkat aku hanya diam entah takut dengan ombak atau apa yang jelas ada perasaan tidak enak.
Kapal berhenti di sisi barat Pulau Dana terlihat pantai pasir putih yang begitu menawan. Saat turun dari kapal langsung di sambut oleh tentara. Mereka meminta kami untuk lengsung lapor ke Pos Penjagaan. Para tentara sedang asik menonton siaran langsung Copa Amerika saat laga final. Beberapa diantara mereka keluar menyambut kami sambutan hangat. Mereka begitu penasaran dengan kedatangan kami, beberapa diantara mereka menyangka kami akan melakukan penelitian padahal kita hanya mau berkunjung saja.
Setelah berfoto-foto sejenak kami diantar menggunakan motor viar ke Monumen Jenderal Sudirman. Padang savana yang begitu luas membentang dihadapan kami. Terik matahari sangat kentara namun tidak kami hiraukan. Terkagum melihat sosok Sang jendral yang kisah perjuangannya begitu inspiratif terutama bagi kader Pemuda Muhammadiyah yang selalu menjadikannya panutan dalam keikhlasan berjuang untuk Indonesia maupun Persyarikatan. Keteladanan Jendral Sudirman yang juga beberapa waktu lalu sempat dipentaskan dalam drama di TBY menginspirasiku sejak lama. Sosok pemuda yang berjuang memajukan Indoensia yang juga sempat menjadi Guru di Sekolah Muhammadiyah. Ikut aktif dalam Hizbul Wathan sebelum ikut bergabung dalam PETA.
Kembali dari monument Jenderal sudirman kami kembali ke markas dan bersantai di sumber air. Sumber air ini unik karena seperti oase di tengah gurun dengan banyak pohon yang sejuk. Cukup lama bersantai di sana sambil berbincang dengan  tentara senior yang sudah bertugas di penjuru Indonesia.
keramahan tentara penjaga pulau terluar


Siangnya kami kembali ke Pulau Rote dan melanjutkan perjalan sore harinya ke Ombok sebelum balik ke Kupang pada pagi harinya.

Sabtu, 23 April 2016

Labuan Bajo


Liburan akhir semester 1 rencana berlibur ke waerebo kemudian dilanjut ke Danau Kelimutu dan TWAL 17 Pulau Riung. Ada beberapa kejadian mendadak termasuk kabarduka yang membuat liburan kami sedikit berubah, liburan yang tidak terencana namun menyenangkan.
Rencana ke waerebo berubah haluan menuju ke Labuan bajo tidak bermaksud untuk berlibur namun untuk mengantarkan teman yang pulang ke jawa ke Bandara Labuan Bajo. Walaupun masih dalam suasana duka daripada rugi waktu, tenaga dan ongkos akhirnya kami memutuskan sekalian untuk main ke Taman Nasional Komodo.
Sudah agak siang dan hanya bermodalkan kenalan saat parker di pelabuhan akhirnya kami mendapatkan kapal untuk berlayar ke Taman Nasional Komodo. Setelah berkonsultasi dengan orang tersebut hanya bias mengunjungi 2 objek yaitu pulau rinca dan snorkeling di pulau kelor. Walaupun tidak membawa baju ganti tetap nekat untuk snorkeling.
Trip pertama menuju ke pulau rinca. Pemandangan pertama adalah banyak kapal yang bersandar di pelabuhan kecil pulau rinca sampai harus lompal-lompat melewati beberapa kapal. Mungkin karena masih dalam waktu liburan jadi ramai. Setelah itu jalan menuju pos ranger pulau rinca sekaligus mengurus administrasi di pos tersebut. Administrasi di pulau ini cukup rumit karena merupakan wilayah konservasi yang termasuk dalam situs warisan dunia UNESCO.
Setelah mendapatkan pemandu dua orang ranger kami di beri pilihan untuk melewati beberapa jalur traking  ada jalur short, medium dan long. Mengikuti saran ranger untuk mengambil jalur medium dengan view salah satu teluk di pulau rinca.

Trip kedua menuju pulau kelor untuk snorkeling, walau gak bawa baju ganti tetap nekat snorkeling. Lokasi snorkeling kali ini sangat dekat dengan bibir pantai cukup berenang beberapa meter sudah sampai. Pemandangan bawah laut yang disuguhkan sungguh menarik coral yang berwarna-warni dan berbagai jenis ikan bahkan juga sempat lihat udang ronggeng yang menari diantara celah karang.

Yang agak disayangkan adalah karena perairanya cukup dangkal banyak terumbu karang yang rusak terinjak-injak pengunjung. Bahkan ketika satu rombongan tiba pemandangan bawah laut pun tidak indah lagi terlalu banyak orang membuat air menjadi lebih keruh.

iklan

loading...

Memasak Beras Menjadi Nasi atau Lontong di Alam Bebas

foto: nationalgeographic.co.id Sumber energi selalu kita butuhkan, apalagi saat kita berpetualang di alam bebas. Kebanyakan dari kita se...

Popular Posts