Jumat, 22 Juli 2016

Di Bawah Garis 11 Derajad Lintang Selatan

Monumen Jenderal Sudirman

Berawal dari ajak seorang teman untuk berkunjung ke daerah paling selatan di Indonesia. Setelah hampir seminggu meninggalkan Riung untuk berkunjung ke Ende langsung lanjut ke titik paling selatan. Sempat bingung untuk memulai dari Ende atau balik lewat Aimere. Karena persiapan yang belum akhirnya memilih lewat Aimere.
Belum terbayang lama perjalanan sekitar 20 jam dalam kapal dan masih dibingungkan soal tiket dan waktu keberangkatan. Pagi itu begitu ramai di Pelabuhan Aimere banyak kendaraan dan pedagang yang memenuhi setiap sudut dermaga. Loket tiket juga penuh sesak dengan antrian orang. Dapatlah dua tiket kelas ekonomi menuju Kupang. Sedikit lega akhinya mendapatkan tiket, tinggal menunggu seorang teman yang jalan kaki dari kos menuju pelabuhan.
Pintu gerbang mulai dibuka, anggota TNI dan Polisi ikut berjaga membantu petugas pelabuhan. Dengan sedikit berdesakan kami memasuki kapal yang ternyata sudah penuh sesak. Tidak hanya manusia dan kendaraan namun juga hewan ternak seperti kambing, babi dan ayam. Sempat mendapat tempat di dek bawah namun tidak terlalu nyaman bau tahi babi dan ayam di sebelah kiri sangat mengganggu. Tidak puas kami masih berusaha mencari tempat di de katas dan ternyata sama saja. Akhirnya kami memilih untuk mengambil tempat di antara dua mobil Menkominfo, sempit memang tetapi jauh dari suara dan aroma hewan ternak.
Karena baru pertama kali menaiki kapal penyeberangan aku begitu penasaran. Menjoba melihat-lihat hingga ke dek atas, di Mushala kami bertemu dengan Guru SM-3T yang bertugas di Sumba Timur. Mereka ingin mengunjungi perbatasan Timor Leste. Mereka yang telah menempuh perjalanan dari Waingapu sampai Aimere sudah mengenal ABK Kapal Inerie II, kita juga diajak mereka ke ruang kemudi kapal dan oleh Nahkoda kapal kami di Ijinkan menuju ke Dek paling atas.
Setelah berusaha istirahat dan berganti-ganti posisi selama hampir 18 jam tiba-tiba terdengar nada suara dari handphone, ternyata kita sudah dekat dengan daratan da nada sinyal selular. Dari jendela terlihat cahaya dan samar-samar mulai terlihat bangunan dan alat berat di Pelabuhan Bolok Kupang. Sampai di Pelabuhan kita mampir dulu di Kupang untuk sahur dan mandi. Angkot dan ojek di sekitar pelabuhan ternyata mahal dan suka minta uang tambahan.
Pagi harinya langsung menuju ke Pelabuhan Tenau untuk mengejar kapal cepat ke Baa (Rote Ndao). Ternyata karena hari Minggu Pelabuhan buka lebih siang, terpaksalah nunggu agak lama di pintu gerbang. Dengan kapal cepat sekitar jam 11 sudah sampai di Baa. Masih tidak percaya bisa sampai di Kabupaten paling selatan di Indonesia.
Gerbang Pelabuhan Baa

Sampai Baa kami mencari kendaraan untuk menuju Ombok namun karena hari Minggu tidak ada bemo yang jalan. Mencari masjid dulu siapa tahu ada yang bisa membantu. Dapat pesan kalau tenyata ada juga anak SM-3T yang sedang di Baa dan tanpa sengaja ketemu di Masjid. Sempat mengobrol sebentar dan ternyata tujuan mereka berbeda.
Desa Oeseli
Setelah mengobrol dengan beberapa orang mereka menyarankan kami untuk menuju ke Desa Oeseli. Di Desa tersebut terdapat sebuah Masjid dan Pos Tentara. Dari desa tersebut kita bisa menuju ke Pulau Dana. Bermodalkan motor pinjaman dan google maps kita langsung menuju Oeseli. Setelah perjalanan sekitar satu jam kita sampai di ujung jalan dan tidak menemukan Masjid ataupun Pos Tentara. Bingung sambil menikmati indahnya Pantai Oeseli.
Pantai Oeseli

Setelah bertanya dengan seorang ibu ternyata masjid lokasinya di tempat tersebut hanya sedikit ke dalam dan tidak terlihat dari jalan. Menyempatkan Shalat Ashar dan beristirahat sambil berharap ada sedikit pencerahan. Memang malu bertanya sesat di jalan, setelah bertanya dengan beberapa warga kami mendapatkan cara untuk ke Pulau Dana dengan bantuan seorang nelayan. Kami juga singgah ke Pos Tentara untuk lapor dan ternyata sambutan bapak-bapak tentara ini begitu baik. Karena beberapa alasan dan juga saran dari pak tentara kami menginap di situ semalam baru ke Pulau Dana paginya.
Masjid Nurul Bahar, Oeseli

Desa Oeseli merupakan perkampungan muslim dengan jumlah warga muslim sekitar 25 kepala keluarga. Menurut penuturan Pak Imam warga muslim di sini merupakan pendatang dari Kerajaan Gowa Talo di Sulawesi. Mereka datang menggunakan kapal pinisi. Konon waktu itu sedang terjadi kekacauan dan perampokan di Gowa Talo hingga beberapa dari mereka melarikan diri dengan kapal pinisi. Desa Oeseli merupakan daerah yang menghasilkan kopra dan hasil laut berupa ikan dan rumput laut. Pantai di desa ini juga begitu indah, pantai pasir putih dengan hisan batu-batu karang. Yang paling berkesan dari tempat ini adalah keramahan penduduk dan ketenangannya. Cukup betah disini jika ada banyak waktu pasti menetap lebih lama.
Keramahan tentara penjaga pulau terluar

Pulau Dana
Pagi itu angin begitu kencang cukup ragu untuk menyeberang. Setelah agak siang dengan kapal nelayan kami menyeberang ke Pulau Dana. Perairan yang langsung terhubung ke laut lepas membuat ombak begitu besar. Menerjang ombak sambil asik memotret burung camar. Entah kenapa waktu berangkat aku hanya diam entah takut dengan ombak atau apa yang jelas ada perasaan tidak enak.
Kapal berhenti di sisi barat Pulau Dana terlihat pantai pasir putih yang begitu menawan. Saat turun dari kapal langsung di sambut oleh tentara. Mereka meminta kami untuk lengsung lapor ke Pos Penjagaan. Para tentara sedang asik menonton siaran langsung Copa Amerika saat laga final. Beberapa diantara mereka keluar menyambut kami sambutan hangat. Mereka begitu penasaran dengan kedatangan kami, beberapa diantara mereka menyangka kami akan melakukan penelitian padahal kita hanya mau berkunjung saja.
Setelah berfoto-foto sejenak kami diantar menggunakan motor viar ke Monumen Jenderal Sudirman. Padang savana yang begitu luas membentang dihadapan kami. Terik matahari sangat kentara namun tidak kami hiraukan. Terkagum melihat sosok Sang jendral yang kisah perjuangannya begitu inspiratif terutama bagi kader Pemuda Muhammadiyah yang selalu menjadikannya panutan dalam keikhlasan berjuang untuk Indonesia maupun Persyarikatan. Keteladanan Jendral Sudirman yang juga beberapa waktu lalu sempat dipentaskan dalam drama di TBY menginspirasiku sejak lama. Sosok pemuda yang berjuang memajukan Indoensia yang juga sempat menjadi Guru di Sekolah Muhammadiyah. Ikut aktif dalam Hizbul Wathan sebelum ikut bergabung dalam PETA.
Kembali dari monument Jenderal sudirman kami kembali ke markas dan bersantai di sumber air. Sumber air ini unik karena seperti oase di tengah gurun dengan banyak pohon yang sejuk. Cukup lama bersantai di sana sambil berbincang dengan  tentara senior yang sudah bertugas di penjuru Indonesia.
keramahan tentara penjaga pulau terluar


Siangnya kami kembali ke Pulau Rote dan melanjutkan perjalan sore harinya ke Ombok sebelum balik ke Kupang pada pagi harinya.

iklan

loading...

Memasak Beras Menjadi Nasi atau Lontong di Alam Bebas

foto: nationalgeographic.co.id Sumber energi selalu kita butuhkan, apalagi saat kita berpetualang di alam bebas. Kebanyakan dari kita se...

Popular Posts