Tinju adat atau sagi adalah salah satu warisan kebudayaan di
tanah flores. Tidak semua adat di flores mengenal sagi hanya beberapa wilayah
yang mengenal sagi diantaranya adalah di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo.
Di Kabupaten Ngada hanya ada beberapa tempat dengan tradisi Sagi, sebagian
besar di Kecamatan Soa namun juga ada satu perkampungan di Riung yang mempunyai
tradisi tinju adat yakni di Bekek.
Sagi di setiap tempat mempunyai beberapa perbedaan.
Perbedaan yang paling mencolok adalah cara memukul dan alat pukul yang
digunakan. Sedangkan aturan lainnya tidak terlalu berbeda jauh. Secara umum
permainan ini dibagi menjadi dua kubu barat dan timur setiap petinju (ata sagi)
merupakan perwakilan dari salah satu kubu dan harus didampingi oleh sike.
24 Oktober 2015, waktu pertama kali menonton tinju adat di
Kabupaten Nagekeo, tidak jauh dari SMK Negeri Riung, tepatnya di Desa Nggolonio,
Kecamatan Aesesa. Lokasinya berada di sebuah lapangan yang cukup luas dengan
tribun berupa susunan batu namun jangan berpikir bakal semegah coliseum di
Roma. Walapun punya akses khusus (salah satu panitia adalah Bapak Yere yang
kebetulan juga guru di SMK Negeri Riung) namun karena lokasi terlalu luas
menyulitkan untuk menonton sehingga tidak terlalu seru. Sambil ngobrol ada yang
bilang kalau tinju di Soa jauh lebih menarik bahkan sampai berdarah-darah.
Inilah pertama kali tertarik untuk melihat tinju di soa.
2 Juni 2016, diundang oleh Hasan (guru SM-3T) untuk datang
ke acara tinju adat di Desa Masu, Soa. Kebetulan waktu itu juga ada monitoring
dari UNY jadi sekalian dari Riung naik bus Gemini turun di Masu. Dari pertigaan
berjalan kaki menuju tempat Hasan dan disepanjang jalan mulai terlihat hiruk
pikuk warga berlalu-lalang kebanyakan membawa jerigen berisi minuman moke. Sambil
menunggu Sagi dimulai istirahat dulu di tempat Hasan.
Setelah agak sore menuju ke lapangan tempat sagi
berlangsung. Suasana begitu ramai namun sedikit berbeda dengan lapangan di Desa
Nggolonio, lapangan di Desa Masu tidak terlalu luas sehingga benar-benar penuh
sesak oleh penonton. Saat sampai lokasi begitu sulit untuk mencari posisi
menonton apalagi untuk mengabadikan pertarungan. Dengan menyusup-nyusup akhirnya
memperoleh tempat yang cukup longgar untuk menonton.
Permanan begitu seru, apalagi setiap kali ada yang meukul
penonton bersorak histeris dan kadang juga ada pemain yang berdarah. Semakin sore
pertandingan semakin seru karena yang bertanding adalah pemain yang lebih
senior. Sayang pertandingan terpaksa haru dihentikan karena salah satu pemain
terlepas dari sike hingga terjatuh. Dalam tradisi mereka setiap ada kejadian
tersebut pertandingan harus diakhiri dan malamnya harus diadakan upacara.
Pertandingan Sagi di Soa memang lebih menarik daripada di Desa
Nggolonio selain adu fisik jauh lebih keras juga antusias warga yang lebih
besar.